Fakultas Ilmu Pendidikan

Kampus Hijau Yang Memiliki Semangat NEVER ENDING TO GROW.

Dr. Sujarwo, M.Pd

Kepala Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas ILmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Lutfi Wibawa, M.Pd

Sekretaris Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.

Prof. Dr. Sodiq Azis Kuntoro, M.Ed

Salah Satu Guru Besar Dari PLS Yang Mengajarkan Long Life Education.

Sambutan Dalam acara Dasar Aktualisasi Mahasiswa

Acara Dasar Aktualisasi Mahasiswa (DAM) di Ruang Abdullah Sigit .

Sabtu, 14 November 2015

Teori Belajar Andragogi



A.    Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).
B.     Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a.       Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara. Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b.      Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
c.       Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
d.      Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
C.    Kesimpulan
Teori Belajar Adragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta didik (siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur sebuah kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang orang yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang, menjadi tua adalah suatu keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu memilihnya seiring dengan semakin tambah usianya.
D.    Sumber
Kemsos. (2006). Memfasilitasi Pelatihan Partisipatif (Pengantar Pendidikan Orang Dewasa) http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=209  (di akses pada tanggal 29 Oktober 2013, pukul 19.27 WIB)


Hipotesis Teori Belajar Orang Dewasa Menurut Carl Rogers



 Menurut Carl Rogers bahwa setiap manusia mempunyai potensi belajar secara alami. Dengan demikian, ada keinginan untuk belajar. Hal ini dapat dilihat dari keingintahuan anak ketika ingin menjelajahi lingkungannya, berusaha untuk menemukan dan memahami pengetahuan dari pengalaman.
Dengan demikian, proses belajar harus berorientasi pada siswa (student centered) karena proses belajar terjadi secara abstrak dan hanya dapat diamati jika ada perubahan perilaku yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan perilaku tersebut bisa terlihat dalam hal pengetahuan, afektif, maupun psikomotorik. Dalam dunia pendidikan seorang guru yang baik menurut teori ini adalah Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada. Yang terpenting dari Rogers adalah proses suasana (emotional approach) dalam pembelajaran bukan hasil dari belajar. Seorang guru harus lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang dalam proses pendidikan. Perasaan gembira, tidak tertekan, nyaman adalah hal yang dinginkan dalam proses pembelajaran.
Menurut Rogers konsep pembelajaran yang berpusat pada siswa ( Student Centered Learning) dilihat berdasarkan 4 hipotesis yaitu :
  1. Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
  2. Seseorang belajar bermakna, hanya pada hal-hal yang dipahami sehingga sesuatu yang dapat mengatur dan mengembangkan struktur dirinya, hipotesis ini menekankan pentingya membuat materi pelajaran sesuai dengan siswa.
  3. Pengalaman yang apabila di asimilasikan akan menyebabkan perubahan organisasi diri cenderung ditentang melalui penolakan simbolisasi. Hipotesis ini mengisaratkan adanya kenyataan yang bersifat mengancam pada individu siswa dan menyarankan pentingnya memberikan iklim yang mendukung dan menerima dengan mempercayakan tanggung jawab siswa.
  4. Situasi pendidikan yang meningkatkan belajar bermakna adalah :
a.       Ancaman terhadap diri siswa direduksi sekecilnya.
b.      Perbedaan asimilasi antar siswa di izinkan.
Siswa belajar tidak hanya dengan mendengar penjelasan guru, tetapi juga dengan melihat, menyentuh, merasakan dan mengikuti keseluruhan proses dari setiap pembelajaran. Di sini anak juga diarahkan untuk memahami potensi dasarnya sendiri. Setiap anak di hargai kelebihannya dan dipahami kekurangannya. Mereka diarahkan untuk belajar secara aktif. Dimana guru berperan sebagai fasilitator. Siswa belajar tidak untuk mengejar nilai, tetapi untuk memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan anak memiliki logika berpikir yang baik, mencermati alam lingkungannya menjadi media belajarnya dengan metode action learning dan diskusi. Anak-anak ,tidak hanya belajar di kelas, tetapi mereka belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Mereka tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga belajar dari alam sekelilingnya.
Oleh karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan atau proses belajar harus selalu memperhatikan potensi-potensi yang terdapat pada siswa. Pendidikan dilaksanakan dengan melihat seluruh potensi manusia, tanpa mengabaikan potensi yang lain.
Penerapan teori belajar humanistik Carl Rogers terhadap metode pembelajaran lebih menunjuk pada semangat selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran. Contoh : seperti metode tanya jawab, metode tanya jawab, metode diskusi, metode pemecahan masalah dll. Sehingga posisi guru menjadi fasilitator dan motivator. Guru hanya memfasilitasi pembelajaran peserta didiknya untuk mencapai tujuan pembelajaran.




Kesimpulan :
Orang dewasa ialah mereka yang telah melewati masa remaja dan memiliki kematangan baik fisik dan psikologis untuk melakukan suatu kegiatan. Motivasi belajar orang dewasa ada dua: (1) Motivasi internal, yang timbul dari dalam diri orang dewasa, (2) Motivasi eksternal, yang berupa rangsangan yang datang dari luar dirinya. Belajar dapat diartikan perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Belajar tidak selalu mensyaratkan kehadiran pendidik (fasilitator) atau gurunya. Pembelajaran merupakan upaya sistematis untuk membantu orang dewasa atau mengendalikan sikap dan perilakunya yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses/interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Sumber :
http://khudo4th.heck.in/files/anggela-melawati-teori-hu.pdf (diunduh pada hari kamis 3 Oktober 2013, pukul 07.35 WIB)

Selasa, 10 Juni 2014

INTERNATIONAL CONFERENCE ON DISASTER RISK REDUCTION AND EDUCATION (ICDRRE 2014)



Selasa, 22 April 2014

NewsLater Rumah Pintar SEMASA (Sekolah Masyarakat Desa)





Selasa, 15 April 2014


Senin, 10 Maret 2014

VOLLY BALL PLS CHAMPION LEAGUE

Selasa, 04 Maret 2014

VISI dan MISI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH UNY


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN 
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

VISI 

Pada tahun 2025 terwujudnya program studi PLS yang unggul ditingkat nasional dalam menghasilkan lulusan Program Studi S1 Pendidikan Luar sekolah yang mampu membelajarkan diri, memberdayakan masyarakat, dan berwirausaha sosial berdasarkan nilai-nilai ketakwaan, kemandirian, kecendekiaan dan berwawasan kebangsaan.

MISI 

  1. Mengembangkan dan menjabarkan paradigma pendidikan abad XXI dan terapannya bagi pendidikan Luar Sekolah.
  2. Menyelenggarakan kegiatan pendidikan akademiik berbasis penelitian dalam bidang  Pendidikan Luar Sekolah.
  3. Melakukan penelitian pendidikan berorientasi pebtgutan konsep dan perbaikan praktik pendidikan :serta mendesiminasi dan memplubikasikannya ditingkat lokal, nasional, dan internasioanal.
  4. Melaksankan pelayanan profesional berbasis penelitian ke mayarakat dan berbagai pihak yang membutuhkan, secara berkelanjutan.
  5. Membina program kemahasiswaan yang kondusif untuk pelaksanaan pendidikan akademik proffesional.
  6. Memperkuat kapasitas dan kelembagaan program studi agar dapat menjalankan kelembagaan tridharma perguruan tinggi secara terpadu.
TUJUAN 

  1. Menegembangkan paradigma pendidikan populis rekonstrukti dan menerapkannya secara konsisten dalam pengembangan prodi PLS.
  2. Menghasilkan Lulusan sarjana kependidikan yang ahli dan profisoanal dalam bidangnya, takwa, mandiri, cendekia, dan berwawasan kebangsaan.
  3. Menghasilkan penelitian yang berkualitas, bermanfaat bagi pengembangan praktik dan/atau ilmu dipublikasikan dan terdiseminasikan secara nasional dan internasional.
  4. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, keahlian yang dikuasai, sehingga menghasilkan dampak yang nyata berkelanjutan.
  5. Menghidupkan budaya kampus dengan berbagai program yang mengkondisikan mahasiswa berprestasi dan berwawasan kebangsaan.


Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Dosen dan Mahasiswa PLS :


Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Gembiraloka dengan PLS FIP UNY
Kegiatan Mahasiswa di Gedung Abdullah Sigit FIP UNY