Sabtu, 01 Juni 2013

Konsep Gender Dalam Perspektif Islam

Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing.“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para pemikir Islam mengartikan qadar di sini dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 1 :
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..............”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran: 195
”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:
” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada kebahagiaan dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firman-Nya, “Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu, laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu (laki-laki) adalah sebagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kitab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah: 71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa isu kontroversi yang berkaitan dengan konsep relasi gender, antara lain asal-usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, talak perempuan serta peran perempuan dalam publik. Secara sepintas, teks-teks tersebut mengesankan adanya bentuk ketidakadilan bagi kaum perempuan. Akan tetapi, jika disimak lebih mendalam dengan menggunakan metode penafsiran yang tepat dan dengan memperhatikan asbab an-nuzul, maka dapat dipahami bahwa ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan secara konstruktif di dalam masyarakat. Masih dalam penafsiran surat an-Nisa,4:34, bila dikaji lebih jauh lagi, idealnya dalam suatu komunitas, supaya terjadi keseimbangan dan stabilisasi pastilah ada seorang pemimpin yang bertanggung jawab untuk kelangsungan komunitas tersebut.
Dalam konteks ayat, komunitas tersebut adalah sebuah keluarga, yang mana laki-laki di tempatkan sebagai pemimpinnya. Seorang pemimpin tidak menunjuk kepada superioritas, melainkan memberi perlindungan untuk menciptakan kemaslahatan. Kata fadhala dalam ayat tersebut berarti kelebihan. Kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki bukan pula menunjuk kepada superioritas laki-laki, mengingat kata ba’dlukum ‘ala ba’din, ’sebagian’ laki-laki mempunyai kelebihan di banding dengan ‘sebagian’ perempuan. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian perempuan memiliki kelebihan di banding sebagian laki-laki. Sebenarnya tanggung jawab utama seorang perempuan adalah melahirkan anak. Ini menjadi sangat penting karena eksistensi manusia bergantung kepadanaya. Maka pa tanggung jawab laki-laki dalam keluarga maupun dam masyarakat. Disinilah laki-laki sebagai qawam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang perempuan dalam menunaikan kewajibannya secara nyaman terutama perlindungan fisik dan nafkah materi.
Al-Qur’an dengan sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan kecuali ketaqwannya. Surat al-Hujurat (49):13 yang artinya “ Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa”.

Komentar :
            Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menjaga kesetaraan dan keadilan. Islam juga sangat menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan. Ketidak adilan gender pada dasarnya dipicu dari budaya kesuperioritas kaum laki-laki yang sudah sangat mapan dan berkesinambungan, yang pada akhirnya merambah ke semua kehidupan termasuk salah satunya agama. Pernyataan ayat-ayat Al- Qur’an yang dirasa sangat tidak memihak kaum perempuan misalnya, bahwa laki-laki mempunyai hak waris dua kali lipat dari perempuan (Qs. An-Nisa, 4:11); kenapa hak waris laki-laki tidak di samakan dengan perempuan, hal seperti itu terlihat adanya diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan; bahwa kesaksian laki-laki dihitung sama dua kali kali lipat dari perempuan (Qs. Al-Baqarah, 2:282); bahwa suami mempunyai hak mutlak sementara istri tidak (Qs. Al-Baqarah 2;226-231), dan beberapa ayat yang lain.
            Posisi perempuan yang di tempatkan sebagai subordinasi dari laki-laki muncul dalam suatu peradaban dimana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki masih sangat kuat. Posisi tersebut bisa jadi memang pada zamannya. Zaman dahulu perempuan hanya di prioritaskan dengan sebutan dapur, sumur dan kasur. Sehingga kaum perempuan pada zaman dahulu lebih memandang itu dan tidak ada pandangan ingin menjadi wanita karir/wanita yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kelak saat menikah.

            Yang terjadi sekarang adalah proses sejarah berjalan secara evolutif dan dinamis. Zaman telah berubah dan kaum perempuan sudah mulai berpikiran/berpandangan maju dalam segala bidang. Sekarang banyak wanita menjadi wanita karir, ada yang menjadi dokter, polwan, direktur, dosen, supir bus, pilot dll. Sebutan perempuan yang di prioritaskan perempuan pada dapur, sumur dan kasur, kini telah berubah seiring berjalannya zaman, walaupun hal itu tidak di hilangkan begitu saja, hal itu masih berjalan sampai saat ini. Hal ini menunjukan bahwa karakteristik kesuperioritas laki-laki atas perempuan bukanlah sesuatu yang mutlak.

0 komentar:

Posting Komentar