Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan
Allah SWT berdasarkan kudratnya masing-masing.“Sesungguhnya segala sesuatu Kami
ciptakan dengan qadar” (QS. Al-Qamar: 49).
Para pemikir Islam mengartikan qadar di sini
dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah SWT bagi segala
sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan
sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh
Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah SWT lebih menganugerahkan
potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya
kepada laki-laki. Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam
pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam QS.
An-Nisa’ ayat 1 :
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya
Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak..............”
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut
mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti
Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa
laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka
berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana
asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas
pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal
dari perpaduan sperma dan ovum. Allah menegaskan hal ini dalam QS. Ali Imran:
195
”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang
diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah
Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
Maksud dari sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain adalah sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan
perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan
perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari
yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut
paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:
” Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada kebahagiaan dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa
masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak
menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa
perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban
masing-masing. Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat
kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran
memuji ulul albab yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit
dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia
alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum
perempuan, karena setelah Al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab
ditegaskannya bahwa “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan
berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal
di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ini
berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya,
mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka
hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya
ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan
Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa “Para laki-laki (suami) adalah
pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa’: 34), namun kepemimpinan ini
tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi
Al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan
pada sisi lain Al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya
mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.
Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini
merupakan keistimewaan dan derajat tingkat yang lebih tinggi dari perempuan.
Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang derajat tersebut yaitu firman-Nya,
“Para istri mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para
istri)” (QS. Al-Baqarah: 228). Kata derajat dalam ayat di atas menurut Imam
Thabary adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan
sebagian kewajiban istri. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa laki-laki
bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu,
laki-laki yang memiliki kemampuan material dianjurkan untuk menangguhkan
perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan manusia tidak
mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan
di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya
hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan.
Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al-Quran menggambarkan hubungan
laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan yang saling
menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini
diungkapkan Al-Quran dengan istilah ba’dhukum mim ba’dhi – sebagian kamu
(laki-laki) adalah sebagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau
semacamnya dikemukakan kitab suci Al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang
asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran: 195), maupun dalam
konteks hubungan suami istri (QS. An-Nisa’: 21) serta kegiatan-kegiatan sosial
(QS. At-Taubah: 71).Kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan dalam
hubungan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami)
dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS. Al-Baqarah: 187), sedang dalam
keadaan sosial digariskan: “Orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh
(mengerjakan yang ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (QS. At-Taubah:
71).Pengertian menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencakup segi perbaikan dalam
kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan
demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan
masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang
mantap. Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi
masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk kitab suci.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa isu kontroversi
yang berkaitan dengan konsep relasi gender, antara lain asal-usul penciptaan
perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, talak
perempuan serta peran perempuan dalam publik. Secara sepintas, teks-teks
tersebut mengesankan adanya bentuk ketidakadilan bagi kaum perempuan. Akan tetapi,
jika disimak lebih mendalam dengan menggunakan metode penafsiran yang tepat dan
dengan memperhatikan asbab an-nuzul, maka dapat dipahami bahwa ayat-ayat
tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan secara
konstruktif di dalam masyarakat. Masih dalam penafsiran surat an-Nisa,4:34,
bila dikaji lebih jauh lagi, idealnya dalam suatu komunitas, supaya terjadi
keseimbangan dan stabilisasi pastilah ada seorang pemimpin yang bertanggung
jawab untuk kelangsungan komunitas tersebut.
Dalam konteks ayat, komunitas tersebut adalah sebuah
keluarga, yang mana laki-laki di tempatkan sebagai pemimpinnya. Seorang
pemimpin tidak menunjuk kepada superioritas, melainkan memberi perlindungan
untuk menciptakan kemaslahatan. Kata fadhala dalam ayat tersebut berarti
kelebihan. Kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki bukan pula menunjuk kepada
superioritas laki-laki, mengingat kata ba’dlukum ‘ala ba’din, ’sebagian’
laki-laki mempunyai kelebihan di banding dengan ‘sebagian’ perempuan. Tidak
menutup kemungkinan bahwa sebagian perempuan memiliki kelebihan di banding
sebagian laki-laki. Sebenarnya tanggung jawab utama seorang perempuan adalah
melahirkan anak. Ini menjadi sangat penting karena eksistensi manusia
bergantung kepadanaya. Maka pa tanggung jawab laki-laki dalam keluarga maupun
dam masyarakat. Disinilah laki-laki sebagai qawam menyediakan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh seorang perempuan dalam menunaikan kewajibannya secara
nyaman terutama perlindungan fisik dan nafkah materi.
Al-Qur’an dengan sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan kecuali ketaqwannya. Surat al-Hujurat
(49):13 yang artinya “ Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
adalah yang paling taqwa”.
Komentar :
Dari penjelasan di atas, bisa
dilihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menjaga kesetaraan dan keadilan.
Islam juga sangat menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum
perempuan. Ketidak adilan gender pada dasarnya dipicu dari budaya
kesuperioritas kaum laki-laki yang sudah sangat mapan dan berkesinambungan,
yang pada akhirnya merambah ke semua kehidupan termasuk salah satunya agama.
Pernyataan ayat-ayat Al- Qur’an yang dirasa sangat tidak memihak kaum perempuan
misalnya, bahwa laki-laki mempunyai hak waris dua kali lipat dari perempuan
(Qs. An-Nisa, 4:11); kenapa hak waris laki-laki tidak di samakan dengan
perempuan, hal seperti itu terlihat adanya diskriminasi antara laki-laki dengan
perempuan; bahwa kesaksian laki-laki dihitung sama dua kali kali lipat dari
perempuan (Qs. Al-Baqarah, 2:282); bahwa suami mempunyai hak mutlak sementara
istri tidak (Qs. Al-Baqarah 2;226-231), dan beberapa ayat yang lain.
Posisi perempuan yang di tempatkan
sebagai subordinasi dari laki-laki muncul dalam suatu peradaban dimana
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki masih sangat kuat. Posisi tersebut
bisa jadi memang pada zamannya. Zaman dahulu perempuan hanya di prioritaskan
dengan sebutan dapur, sumur dan kasur. Sehingga kaum perempuan pada zaman
dahulu lebih memandang itu dan tidak ada pandangan ingin menjadi wanita
karir/wanita yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kelak saat
menikah.
Yang terjadi sekarang adalah proses
sejarah berjalan secara evolutif dan dinamis. Zaman telah berubah dan kaum
perempuan sudah mulai berpikiran/berpandangan maju dalam segala bidang.
Sekarang banyak wanita menjadi wanita karir, ada yang menjadi dokter, polwan,
direktur, dosen, supir bus, pilot dll. Sebutan perempuan yang di prioritaskan
perempuan pada dapur, sumur dan kasur, kini telah berubah seiring berjalannya
zaman, walaupun hal itu tidak di hilangkan begitu saja, hal itu masih berjalan
sampai saat ini. Hal ini menunjukan bahwa karakteristik kesuperioritas
laki-laki atas perempuan bukanlah sesuatu yang mutlak.
0 komentar:
Posting Komentar